Mengingat bahwa
sannya dunia ini telah terpuruk dengan berbagai macam rupa. Bahwa dunia ini
berracuni berbagai rasa iri. Iri yang membuat satu persaudaraan putus karena
masalah orang lain. Membuat mereka bertempur habis-habissan karena masalah
media yang membuat satu yang awalnya mencintai lalu membenci. Ya begitulah
manusia
Aku terduduk diam dan menikmati makan pagi
ku di sebuah warung sebelah angringan lalu, datang seorang wanita menghampiriku,
ia berkata dengan suara terseduh seduh “Mbk, minta sedekahnya mbk! Saya belum
makan seharian an. Kasiah ni saya mbk.” Aku mentatap dengan iba. Di hatiku
berkata, apakah begini dunia? orang harus meminta minta baru di kasihhanni. Dunia
memang kejam.
Setelah berlalu beberapa waktu aku bertemu
dengan seorang anak kecil sedang bernyanyi, entah lagu apa yang ia nyanyikan.
Lagu gembira kah atau sendih kah, aku belum pernah mendengar lagu itu. Em
mungkin ia ingin jadi penyanyi dewasanya pikir ku.
“Mbk,
tolong mbk di isi!” kata adik itu mehamburkan lamuanan ku dengan sebuah kotak
berisi uang receh bekas belah kasiahan orang-orang dijalan itu.
Lalu, aku berjalan kembali terlihatlah seorang
lelaki paru baya yang tak memiliki kaki. Kasiahan dia, ujarku dalam hati. Apa
dia kehilangan kaki saat bekerja? Emm… apa mungkin ia kehilangan kaki saat
berjalan terus terlindas truk? Apa dia kehilangan kaki saat..?? Emm aku tak tau
lagi.
“Mbk, minta sedekahnya! Saya punyak anak
yang belum dikasih makan mbk!” kata lelaki itu. Kasihan dia berjalan dengan
kaki satu.
Ku, berjalan lagi menyusuri keramaian itu.
Melihat seribu gaya anak-anak manusia zaman sekarang. Terbawa arus kekinian
katanya, ke barat-baratan lah, ke arab-arabtan lah, ke korea-koreatan lah
sampai ke mars-mars san. Etah lah aku tak tahu model gaya itu makanya aku
bilang mars-mars san karena seperti melihat alien berjalan. Ya, begitulah, namanya
juga manusia.
Disepanjang jalan itu, aku dapat melihat
semua yang terjadi, tipe-tipe orang yang sangat baik hingga yang menjijikan.
Warna yang membuat aku semakin ambigu dengan dunia ini. Dunia yang selalu orang
puji dan di junjung, yang selalu orang berpendapat jika dunia ini milik mereka,
jika apa yang ada dunia ini untuk mereka, jika orang miskin itu tak punya hak hidup
di dunia mereka. Karena mereka hanya sebuah sampah yang kotor dan tak mungkin
akan bersih. Ya, itu pikiran mereka aku tau itu pasti.
21 tahun aku melihat beragam wajah 2,4, 6
hingga seribu rupa seperti itu. Wajah yang merasa tak bersalah menghakimi yang
tak bersalah dan ia merasa paling benar. Mereka orang-orang yang engan dibilang
“pencuri, maling, pendosa dan sampah” bukan maksudku orang-orang yang diatas
ya, tapi orang- orang yang tak melihat mereka. Yang selalu meresa dirinya benar, dan
orang-orang itu adalah SAMPAH bagi mereka.
Aku
kembali ke gang yang sama dimana aku ketemu mbk-mbk itu peminta-minta itu. Aku
duduk di angringan dekat sana, dan berfikir, Emm ternyata berat ya hidup ini!
“Kenapa, Mbk?” bapak-bapak separuh baya
mengagetkan ku. Bapak-bapak angringan.
“Hidup
itu berat ya, Pak, aku aja bingung dengan hidup ini!”
“Lah,
mbk aja bingung apa lagi saya mbak. Orang miskin yang hidup dari jualan
angringan.” Kata bapak itu sambil melayani peseanan ku tempe bakar dan es teh
manis tanpa gula.
“Ya,
gitu mbk, Kita sudah berusaha keras tapi, apa tetap tetap saja. Yang penting kita iklhas ridho dunia akhirat itu aja mbk.!”
Kata bapak-bapak itu dan aku hny terdiam.
“Mbk tau gak, mbk-mbk yang tadi pagi
minta-minta ke embak?”
aku menganguk “Emang kenapa mbk?”
“Dia,
itu mantan istri nya kades, desa sebelah mbk, dia kaya gitu karena korupsi uang
desa. Dan suaminya mati struk. Engak punya anak dan di usir sama keluarganya
karena malu”
Aku
tercengah mendengarknya.
” Dan mbk tau anak-anak kecil yang nyanyi
di perempatan lampu merah sana setiap sore?”
Aku
mengeleng “Emang siapa?”
“Mereka
itu anak-anak yang di buang orang tuanya terus diangkat anak sama pereman di
sana!”
aku
mendenganrnya tercengah kembali smapai-smapai nasi ku ketahan ditengorokan
tidak ingin masuk keperut karena mendengar itu. Aku minum es teh ku jadinya.
“Mbk
tau mas-mas bertato dan bertindik yang suka malak di gang sebelah sana?” Bapak
angringan menunjukan gang yang letaknya lumayan jauh dari tempat angringan
bapaknya. “Dia itu kepala premen. Dulunya polisi tapi di pecat karna nembak
orang mbk, sampai orangnya harus di aputasi kakinya”
Aku langsung berfikir ke bapak-bapak yang
ada di jalan tadi, apa jangan-jangan, ah, mana mungkin dia. Dan setelah
mendengar itu aku mengingat sesuatu. Kepala preman itu sangat menyeramkan ya.
Aku semangkin takut.
“Mbk, tak perlu di risaukan, dunia ini
memang begitu mbk. Banyak orang baik, banyak pula orang jahat. Kita diminta
memilih saja kok engak susah, masuk ke jalan yang baik atau yang buruk. Mau ke
masjid atau ke diskrotik ya terserah kita.”
“Wah, bapak tau dikotik toh?” Kataku
disela ketawaku karena bapak angringan bilang dikotik jadi diskrotik.
“Ya, tau lah mbk tempat ajeb-ajeb itu
kan!” bapak nya mengelengkan kepalanya berulang-ulang kali.
“Ha..Ha..hahaa..”
kami semua tertawa melihat tingkat bapak
angringan.
Saat aku berjalan pulang aku berfikir
dengan cermat, emm.. betul kata bapak-bapak angringan itu, Tuhan memberikan
kita hidup namun, kita di minta Tuhan untuk berjalan. Tuhan telah menentukan
jalan nya tapi apakah kita melewati jalan Tuhan. Entahlah, itulah hidup tak
bisa ditebak. Tapi, yang ku tau Tuhan tak pernah menunjukan jalan bagi umatnya
menuju jalan yang tersesat.
Yogyakarta, 24 April 2017
AR
Bukan kasiah tapi kasihan, bukan kasiahan tapi kasihan, itu kekoraean dan satu lagi ga pake t mbak jadi kekorea-koreaan.
ReplyDeleteTyas penulis di http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com